Tiga belas tahun sudah peristiwa itu terjadi dan kita mungkin perlahan-lahan lupa tentangnya. Kala itu, 1999, sebuah wilayah yang kita anggap sebagai bagian dari ‘kita’ tiba-tiba berubah identitas menjadi ‘mereka’. Dulu, Maliana, Aimere, Bobonaro, Dili adalah titik-titik dalam peta Indonesia yang berwarna sama dengan Bogor, Cianjur, Tangerang; kini, titik-titik itu berbeda warna bahkan bisa saja tak ada. Begitulah, perubahan realitas politik selalu mengubah gambaran-gambaran yang ada di kepala. Ketika perubahan-perubahan itu perlahan-lahan menjadi gema lemah yang sebentar lagi hilang dari kepala—setidaknya bagi saya—Atambua 39 derajat Celcuis (selanjutnya: Atambua 39) datang dan mengingatkannya kembali.

Atambua 39 karya Riri Riza berkisah tentang kehidupan Ronaldo (47 tahun), Joao anaknya (16-an tahun), dan juga Nikia (seumuran Joao) anak pengungsian yang kini tinggal di Kupang. Film ini mengambil setting sebagian besar di Atambua, kota perbatasan antara NTT-Indonesia dengan Timor Leste, sedikit di Kupang dan juga sedikit di Timor Leste. Pengambilan setting ini dan pernyataan di awal film, “Atambua 13 tahun setelah Referendum”, menjelaskan apa yang hendak dibicarakan Atambua 39; sebuah konsekuensi dari peristiwa politik dan perang. Mengambil Haliwen, Atambua, jelas film ini hendak bercerita tentang para pengungsi dari Timor Leste. Haliwen kita tahu adalah sebuah kompleks pemukiman para pengungsi Timor Leste di Atambua (ibu kota Kabupaten Belu, NTT).Lantas, Atambua 39 mencoba membandingkannya dengan sedikit setting di tempat asal para pemukim (Timor Leste) dan juga Kupang (wilayah Indonesia).

***

Ronaldo, Joao, dan Nikia punya kesadaran yang berbeda sebagai pengungsi. Ronaldo adalah pria dewasa dan pilihannya untuk mengungsi adalah sikap politik bukanlah tuntutan keadaan atau hal-hal melankolis lainnya. Bahkan, Ronaldo berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak akan menginjakan kakinya di Timor Leste sebelum Timor Leste kembali bergabung dengan Indonesia. Sebuah adegan penting yang menggambarkan sikap politik dan di mana posisi Ronaldo pada masa referendum itu adalah adegan perkelahian di sebuah rumah biliard di Atambua. Ronaldo diajak minum minuman keras oleh Alfredo. Oleh teman minumnya, Ronaldo ditanya apakah ketika perang (pertikaian kala jajak pendapat di Timor Timur kala itu) ia membunuh orang? Ronaldo tidak menjawabnya dengan ya atau tidak tetapi ia mengisahkan ikrarnya bahwa ia tak akan menginjakkan kakinya di Timor Leste sebelum Timor Leste kembali bersatu dengan Indonesia. Ketika pertanyaan itu diulangi oleh teman minumnya, Ronlado bangun, menggengggam botol minuman keras, dan menghantamnya pada kepala orang yang bertanya.Ronaldo pun, karena peristiwa itu, masuk penjara. Adegan ini bukan saja menunjukan sikap politik Ronaldo. Lebih dari itu, adegan ini pada hemat saya bisa menunjukan bagaimana kecamuk pikiran dan kekecewaan Ronaldo sendiri atas apa yang dibayangkannya dan apa yang dihadapinya.

Bayangkanlah seorang Ronaldo yang memutuskan untuk meninggalkan Timor Leste dan tinggal di Indonesia dengan kepercayaan bahwa Timor Leste akan menjadi lebih baik bersama Indonesia, bukan merdeka. Demi kepercayaan yang demikian, ia bahkan meninggalkan istri dan anaknya yang lain. Joao dibawanya karena menurutnya anak lelaki inilah yang akan meneruskan dan menjadi saksi dari sikap ayahnya. Apa yang ditemukannya di Indonesia? Setelah 13 tahun, ia hanya bisa menghuni rumah yang jauh dari kata layak di lokasi kamp pengungsian Haliwen; sebuah gambaran bahwa Ronaldo tak mendapatkan sesuatu yang baik di Indonesia. Di sisi lain, kabar dari istrinya melalui rekaman pita kaset menyatakan bahwa keadaan Timor Leste sekarang jauh lebih baik dari yang dulu.

Selain itu, Joao anaknya yang diharapkannya untuk meneruskan sikap ayahnya justru diam-diam selalu mendengarkan kembali rekaman suara ibunya yang meminta Ronaldo pulang membawa Joao ke Timor Leste atau Joao pergi ke sana sendiri. Ronaldo berusaha agar Joao tidak mendengarkan rekaman itu namun Joao tak mengindahkannya. Alih-alih meneruskan sikap sang ayah, Joao secara diam-diam merindukan sang ibu.

Joao yang mengungsi ketika masih sangat kecil tentu berbeda dalam memandang permasalahan Indonesia-Timor Leste. Bisa dikatakan, ia tidak punya pandangan apa-apa tentang itu. Jika Ronaldo punya pengalaman dengan Timor Timus sebagai bagian Indonesia dan Timor Leste yang merdeka, Joao dan Nikia hanya tahu kenyataan ketika berada di pengungsian. Kenyataan yang Joao hadapi adalah kesengsaraan hidup sebagai pengungsi yang kontras dengan keadaan masyarakat sekitar (keadaan masyarakat sekitar digambarkan oleh rumah tempat Joao dan kawan-kawannya menonton film porno). Maka, suara ibunya dan ajakan ibunya untuk kembali ke Timor Leste adalah sebuah harapan bagi Joao. Belakangan kita tahu, Ronaldo capek dengan janjinya untuk tidak menginjakan kaki di Timor dan mengikuti insting Joao untuk kembali ke Timor Leste.

Nikia berbeda dengan Joao dan Ronaldo. Dan pada hemat saya, Nikia-lah tokoh yang lebih menarik kisahnya dalam Atambua 39. Kehadiran Nikia dalam Atambua 39 dimulai dengan ia pulang dari Kupang untuk mengurusi kuburan Kakek Mateus, kakeknya. Belakangan kita tahu, Kakek Mateus adalah satu-satunya kerabat yang dimiliki Nikia. Ayah, ibu dan saudaranya sudah meninggal. Nikia kecil mengungsi bersama Kakek Mateus. Kematian Kakek Mateus dengan demikian adalah putusnya benang yang menghubungkan Nikia dengan asal usulnya, sejarahnya, dan juga Timor Leste. Tak ada yang tersisa bagi Nikia di Timor Leste, tak ada juga yang bisa diharapkan Nikia di Indonesia. Belum lagi Nikia dipenuhi trauma khas pengungsi yang tak teratur; diperkosa di kamps pengungsian. Maka, Nikia memilih untuk terus berjalan, walau tak tahu ke mana harus pergi dan ke mana harus pulang. Atambua 39 menurut saya sangat baik dengan menggambarkan metafora nasib Nikia dengan gambar tertiupnya kantong pelastik di jalanan kota Kupang. Seakan ingin mengatakan, seperti itulah nasib Nikia ketika berada di Indonesia. Kehilangan segalanya dan tak tahu harus ke mana pergi dan dari mana; berjalan saja terus ke mana pun dengan kehampaan di dalam diri.

Atambua 39 pada hemat saya memang memainkan metafora-metafora yang apik. Film ini berhasil menggabungkan alur cerita yang hendak disampaikan dengan metafora-metafora yang diangkat dari kultur sosial masyarakat setempat. Salah satunya adalah metafora tertiupnya pelastik kosong di jalanan kota Kupang sebagai metafora nasib Nikia.Yang lebih menarik menurut saya adalah metafora-metafora yang diambil dari dunia kekatolikan di dalam film ini. Banyak adegan yang menggambarkan upacara-upacara dan ritual-ritual kekatolikan di Atambua yang jika tanpa metafora ini menjadi gambar-gambar yang sia-sia. Adegan-adegan ritual seperti minggu palma, jalan salib, dan juga misa di gereja punya peluang besar menjadi tak bermakna dan hanya latar tak berarti jika hanya sekadar mau menggambarkan kekatolikan yang begitu kuat di wilayah Atambua. Untungnya, adegan-adegan ritual itu bisa dibaca sebagai metafora cerita Atambua 39.

Upacara Minggu Palma (Minggu Daun-daun) misalnya bisa dibaca sebagai metafora kehidupan Ronaldo. Ronaldo, ia datang ke Indonesia sebagai seorang pahlawan yang lebih nemilih Indonesia dari pada Timor Leste yang merdeka. Dan Minggu Palma adalah upacara peringatan akan kedatangan Yesus di Yerusalem dan dielu-elukan sebagai Raja orang Israel; pahlawan dalam makna yang lain. Juga seperti Yesus yang beberapa hari kemudian setelah peristiwa Minggu Palma dianggap sebagai pengkhianat dan sampah bagi orang Israel, Ronaldo pun setelah beberapa lama di Indonesia menyadari bahwa dia tak lagi pahlawan, melainkan tak lebih dari semacam sampah masyarakat—mabuk-mabukan, berjudi, dan mendekam di penjara. Lantas, adegan Nikia yang memanggul salib untuk kuburan Kakek Mateus dipadukan dengan adegan Jalan Salib Kristus. Kita bisa membaca adegan Upacara Jalan Salib ini sebagai sebuah metafora kehidupan Nikia itu sendiri yang harus memanggul nasib hidupnya yang cukup pahit.

Kesosialan sayangnya tak menjadi perhatian film ini. Bukan saja film ini terlalu sepi dan terlalu sibuk mengeksplorasi kehidupan individu ketiga tokoh sentralnya, bahkan film ini memmunculkan adegan yang sama sekali tak memperhitungkan kesosialan tersebut. Ketika Joao pergi ke Kupang dan Ronaldo sudah ke luar dari penjara, ada sebuah adegan di mana Robnaldo berbicara dengan orang-orang tuadi Haliwen. Pada adegan itu para orang tua bercerita tentang sulitnya mereka hidup di Haliwen dan bagaimana karena kesulitan itu mereka membiarkan anak-anak mereka pergi bekerja di tempat lain untuk mencari uang membantu mereka. Ronaldo pada adegan ini seperti orang baru yang datang dan melakukan kunjungan pada para penghuni pengungsian dan mendengarkan segala keluh kesah mereka. Bukankah Ronaldo adalah penghuni tempat itu dan dengan kata lain permasalahan-permasalahan di kampungnya harusnya dipahaminya dengan cara yang lain dan bukan dengan pembicaran verbal semacam laporan?

Atambua 39 pada hemat saya adalah potret beberapa orang pengungsi Timor Leste yang sampai sekarang masih terlunta-lunta nasibnya. Sayangnya, film ini lebih berkutat pada kehilangan, melankoli, dan idealisme beberapa orang saja. Keluasan permasalahan pengungsian justru tak terlihat di film ini. Akhirnya, nasib buruk Ronaldo, Joao, dan Nikia bisa jadi dilihat hanya sebagai kesalahan dan permasalahan per individu semata. Padahal kita tahu, masalah referendum, pengungsian, adalah masalah besar yang menyeret pemerintah dari pucuk teratas hingga tingkat desa dan harusnya menjadi permasalahan yang harusnya diemban negara. Namun, Atambua 39 memilih untuk mengeksplorasi permasalahan pengungsian dengan kamera yang terus menguntit individu-individu pengungsi yang berkutat bergulat dengan nasibnya dalam kesendirian. Tak tampak sedikit pun permasalahan ketakterurusannya para pengungsian oleh pihak berwenang, tak tampak konflik-konflik horisontal antara masyarakat pengungsian dan masyarakat asli tempat pengungsian yang memang kerap terjadi. Atau jangan-jangan, memang setelah 13 tahun lewat, para pengungsi itu pada akhirnya sudah tak bisa lari ke mana-mana, sudah tak bisa berharap ke mana-mana, dan tinggal sepi sendiri meratapi nasibnya?Itulah pula kenapa para pengungsi seperti Nikia memilih untuk terus berjalan seturut angin yang membawanya meski pun tahu bahwa di dalam dirinya tak ada apa pun yang tersisa.


*Catatan: Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di Jurnal Footage, 14 Januari 2013.

Please follow and like us:

Post Comment

RSS
Instagram