Dunia Kesenian dan Masyarakat

Jika kita melihat dunia sastra dan dunia pemikiran di Indonesia, kedua hal ini saya kira perlu dibahas karena yang mengadakan forum perihal sastra ini adalah ‘dunia pemikiran’, kita akan menemukan wajah masa lalu yang satu pada wajah yang lainnya dan sebaliknya. Pada dunia sastra Indonesia saat ini, kita akan melihat masa depan dari dunia pemikiran. Dan pada dunia pemikiran, dunia sastra akan melihat masa lalunya. Mengapa demikian? Begini kurang lebihnya:

Sebelum kemarin berangkat ke Jogja, saya bincang-bincang dengan salah satu kolega-senior saya di ruangrupa, Ardi Yunanto. Yang kita perbincangkan di salah satu warteg di dekat kantor Koran Tempo, Palmerah itu klise sebenarnya; bagaimana dibandingkan bidang kehidupan yang lainnya, bidang kebudayaan itu jauh di bawah sungguh ‘penghargaannya’[1]. Klise memang. Tetapi dari yang klise begini, dan sepertinya bukan dari teori-teori yang canggih, kita lebih bisa mengenali dunia dari apa yang hendak kita perbincangkan itu. Di dalam dunia kebudayaan/kesenian itu pun, ada strata-strata ‘penghargaannya’ juga; seni rupa, seni musik, seni sastra, dsb. Di dalam keminiman ‘penghargaan’ itu, nyatanya juga, insan-insan kebudayaan kita ternyata punya hobi berkelahi satu sama lain. Jika kita telusuri lebih jauh, maka ada strata pula di dalam bidang kesenian masing-masing itu.

‘Penghargaan’ yang begitu saja ini terjadi secara historis. Paling gampang, kita lihat saja dari sejarah dunia akademis kita. Bidang studi mana yang lebih dahulu muncul dari yang lainnya? Dalam kerangka politik etis, pendidikan modern kita akarnya ada di situ, kita tahu, muncullah Kedokteran Stovia itu. Barulah setelahnya mulai muncul jurusan-jurusan lainnya di dalam sejarah pendidikan di Hindia Belanda ini. Bidang Bahasa dan Sastra (Jawa-Nusantara-Indonesia) hadir lebih dahulu ketimbang bidang filsafat.[2] Saya kira penting melihat kehadiran jurusan-jurusan tersebut sebagai salah satu tolok ukur bagaimana perkembangan bidang-bidang itu di dalam masyarakat kita.

Gambar diambil dari instagram @klhrdesign

Kehadiran yang terlambat ini, dengan demikian berdampak pula pada keterlambatan terbentuknya ekosistem yang baik. Ekosistem yang belum terbentuk dengan baik mengakibatkan kecarut-marutan dunia pemikiran, kebudayaan-kesenian itu sendiri. Pada era 1950-an, dunia kebudayaan-kesenian, meski pun bergairah secara pemikiran, ditandai dengan banyaknya majalah kebudayaan, dihiasi pula potret-potret hidup insan-insannya yang carut marut. Hal ini misalnya dipotret dengan sangat bagus oleh kumpulan cerpen Misbach Yusa Biran, Keajaiban di Pasar Senen dan Oh, Film. Jika di dunia sastra era 1950-an ada kecarut-marutan seperti itu, bagaimana dengan dunia pemikiran filsafat? Dunia filsafat yang berdiri kokoh sebagai filsafat saya kira tidak ada. Setidaknya, saya belum menemukan majalah khusus filsafat yang terbit 1950-an. Filsafat menyusup-nyusup di majalah-majalah kebudayaan.

Secara langsung atau pun tidak, kehadiran yang terlambat dari bidang-bidang kehidupan yang tua ini[3], berhubungan timbal balik dengan penerimaan masyarakat atasnya. Kita bisa dengan gampang membuat survey sederhana untuk menemukan bahwa masyarakat melihat ilmu filsafat dan sastra sebagai sekolah tanpa faedah ketimbang ilmu-ilmu yang lainnya. Tentu saja, kita punya segudang alasan untuk mempersalahakan persepsi common people on the street ini semisal masyarakat tak mengerti mana yang penting mana yang tidak, masyarakat tak mengerti ada ilmu yang keuntungannya itu bisa dipetik berabad-abad kemudian bukan esok hari, atau juga masyarakat termakan selera pasar, dsb. Ada baiknya memang terkadang segudang alasan membenarkan diri dan menyalahkan persepsi masyarakat ini kita kunci rapat-rapat dan kita mulai bertanya; apa yang salah dengan dua bidang yang tengah kita perbincangkan ini.

Permasalahannya, masyarakat memang hanya berpikir tentang apa yang bisa dimakannya besok; tidak lebih dari itu. Dan dunia pemikiran dan dunia kesenian-sastra-puisi, sejauh pengamatan saya, di dalam berkarya dan bertindaknya selalu berpikir perihal bagaimana membela masyarakat atau berada di pihak masyarakat[4]. Dengan kata lain; dunia pemikiran dan dunia kesenian-sastra-puisi berada di pihak “sesuatu” yang tidak mengindahkan keberadaan dunia pemikiran dan dunia kesenian-sastra-puisi itu sendiri. Jelasnya, dunia pemikiran dan dunia kesenian-sastra-puisi berusaha untuk berada di pihak masyarakat yang tidak mengindahkan keberadaan dunia pemikiran dan dunia kesenian-sastra-puisi itu sendiri. Cara mengukurnya saya kira sederhana; berapa jumlah massa yang mengamini dan meyakini isi pemikiran anda dan berapa jumlah pembaca anda, pendengar anda, pengunjung pameran anda. Setelah seberapa banyak, dari kalangan mana sajakah mereka? Dan saya cenderung lebih sepakat pada orang yang berkata demikian; masyarakat tak pernah salah, percayalah pada massa, jika ada yang menurutmu salah pada massa, periksalah terlebih dahulu diri kita.

Tujuan Kebudayaan-Sastra-Puisi (Atau Pemikiran di Baliknya)

 Pertanyaan yang mengikuti keadaan yang demikian itu saya kira, apa tujuan dari kebudayaan-sastra-puisi itu. Atau, apa tujuan orang-orang yang berkarya seni-sastra-puisi itu? Jika mengamini pembahasan sebelumnya, tidak bisa tidak, mereka yang berkarya di seni-sastra-puisi adalah mereka-mereka yang tercerahkan; entah kelas menengah, entah organik dari massa itu sendiri; Widji Thukul contoh baiknya. Posisi aktivitas seni-sastra-puisi ada di tengah; di bawahnya ada masyakarat dan di atasnya ada kepentingan modal beserta aparatus di atasnya. Ke mana pena, nada, akting, suara itu ditujukkan; ke atas atau ke bawah; atau mencakup dua-duanya?

Di dalam sejarah sastra kita, ada yang secara tegas mengarahkan ke atas; WS Rendra dengan puisi-puisi pamfletnya—terlepas dari baik buruk atau penilaian lainnya—mengarahkannya secara sadar ke atas, menyuarakan yang dari bawah. Iwan Fals, mengakomodir keduanya; ia melancarkan protes ke atas dengan membawa aspirasi dari bawah, sekaligus juga ia merentangkan secara gamblang kehidupan di bawahnya untuk didengarkan oleh massa yang berada di bawahnya. Berbagai lagu dangdut koplo, tak berpikir untuk mengarahkan nadanya ke atas; mereka dengan setia mengungkapkan keseharian-keseharian mereka. Puisi-puisi liris, tak jelas juga mau ke atas atau ke bawah, mengambang di antara kegalauan diri sendiri dan keengganan pada dunia yang porak poranda. Sedangkan Pramoedya terkhusus karya-karya pasca 65 mengarahkan ke atas dan ke bawah dalam kerangka mengingatkan dan pembelajaran. Mulyono dengan Kesenian Untuk Desa-nya secara sadar memilih untuk mengarahkan karya visualnya ke bawah, sebagai ‘seni penyadaran’ bagi masyarakat.

Karya Giorgio Vasari, “Seconda storia della notte di san bartolomeo”, (1573) | Sumber: commons.wikimedia.org

Evektifitas sebuah karya seni, pada hemat saya, hanya mungkin tercapai ketika tujuan penciptaannya disadari sepenuhnya. Dengan tujuan yang jelas itulah elemen-elemen artistik bisa diseleksi dengan baik demi mencapai tujuan tersebut. Presentasinya seperti apa, diksi-diksi yang bagaimana, dipublikasikan dengan cara bagaimana, adalah juga hal-hal yang menghamba pada tujuan yang dimaksudkan ini. Tentu saja kita tahu bahwa akan ada hasil pencernaan lain yang sepenuhnya tak diprediksi oleh pengarangnya. Tetapi itu soal lain. Dalam kerangka itu, bentuk sebuah karya tidak bisa tidak mesti menghamba pada isi yang hendak disampaikan.

Tujuan dari sebuah karya bergantung pada pemikiran apa yang ada di balik penciptanya. Atau, ideologi apa, secara sadar atau pun tidak, dianut oleh penciptanya. Maka, tujuan bisa diforumlasikan dengan mantap mengandaikan selesainya perihal pemikiran di baliknya. Dan, presentasi artistik karya seperti apa, mengandaikan terselesaikannya tujuan yang hendak dicapai. Tentu saja sebagai seorang pelaku kesenian hal ini bisa terjadi secara otodidak, tidak mengandaikan sebuah bangku kuliah atau kelompok studi tertentu dengan kurikulum yang ketat. Modal pertamanya saya kira, kepekaan yang jujur terhadap realitas kehidupan.

Puisi Yang Dimusikkan

Musikalisasi puisi dengan demikian adalah penambahan elemen artistik yang baru pada elemen artistik yang ada sebelumnya dan sudah penuh sebagai sebuah karya. Bayangkan sebuah puisi, katakanlah, karya Sapardi Djoko Damono. Puisi ini ditulis Sapardi pada suatu ketika yang entah, lantas diterbitkan pada sebuah media massa yang entah, lantas diterbitkan di dalam buku kumpulan puisi. Katakanlah, Dukamu Abadi. Dengan demikian, puisi itu sudah penuh sebagai sebuah karya seni. Lantas, duo musisi, Ari Reda, memusikalisasikannya dan dibawakan di beberapa panggung. Lantas, direkam dan menjadi album dari Ari Reda. Dengan demikian, Ari Reda menambahkan elemen artistik lainnya pada karya penuh yang sudah ada dan menjadi sebuah karya baru.

Andaikanlah bahwa Sapardi Djoko Damono punya tujuan tertentu dengan puisinya. Maka, kita andaikan pula ia adalah sastrawan yang sudah selesai dengan perkara-perkara yang tadi disebutkan di atas, ketika Sapardi mempublikasikan puisi tersebut, kita bisa mengandaikan bahwa memang menurut Sapardi dan di dalam disiplin puisi, puisi tersebut sudah selesai. Artinya, elemen-elemen artistiknya sudah pas dengan apa yang hendak disampaikan pengarangnya; tujuannya dianggap sudah bisa tersampaikan dengan baik dengan elemen yang ada. Maka, dalam kerangka disiplin musik, barangkali Ari Reda merasa bahwa ada yang perlu ditambahkan pada puisi tersebut sehingga tujuan (mereka) tercapai dengan baik. Kita mengandaikan pula, Ari Reda adalah seniman musik yang sudah selesai dengan hal-hal yang digambarkan di atas.

Dari ilustrasi Sapardi Djoko Damono dan Ari Reda tadi, perkaranya terutama pada tujuan ketika sebuah puisi dimusikalisasikan. Dalam ilustrasi di atas, puisi yang dimusikkan itu sampai direkam dan muncul sebagai album. Tentu saja perkara tujuan menjadi penting di sini. Presentasinya menjadi jauh berbeda dengan puisi pada awalnya. Masalahnya mungkin jadi lebih sederhana ketika musikalisasi puisi ini sekadar bertujuan untuk membawakan puisi tersebut dengan lebih ekspresif, lebih menarik minat pemirsa misalnya, ketika dibawakan pada sebuah panggung. Dan selanjutnya tidak ada kepentingan lain di luar itu.

Kembali kepada musikalisasi puisi yang ujungnya menjadi sebuah karya yang mandiri, alangkah lebih baik memang jika ketika ditambahkan elemen musik di sana, ia memberi makna yang baru atau berbeda yang jika hanya membaca atau mendengarkan deklamasi puisi tersebut, makna itu tidak bisa didapatkan. Tentu saja itu tujuan yang lebih jauh lagi dari sekadar tujuan untuk membuat sebuah puisi tersebut lebih memasyarakat. Perihal lebih memasyarakat ini pun memang tidaklah sederhana. Kembali ke ilustrasi Sapardi-Ari Reda tadi. Sejauh apa si senimannya bisa memastikan bahwa dengan merekamnya di dalam album, puisi Sapardi yang dimusikalisasikan tersebut bisa lebih menjangkau lebih banyak pemirsa? Dari angka penjualankah? Dari angka viewers di kanal youtubekah? Atau jangan-jangan, yang menikmati album Ari Reda adalah orang yang sama yang menikmati atau membaca puisi-puisi di Dukamu Abadi?

Maka kembali lagi, perkaranya adalah ketika memusikalisasikan sebuah puisi, apa tujuannya. Dan pencapaian dari tujuan tersebut dipikirkan dan dijalankan melalui perangkat artistik, hingga presentasi karya, hingga penyebarannya (pemirsa yang dituju), seperti apa yang dipilih.

Karena karya yang baik, apa pun genre-nya, adalah karya yang tidak menggunakan prinsip minus malum tetapi semaksimal mungkin mencapai tujuan-tujuan yang hendak dicapainya. Demikian seorang kawan saya pernah berujar.


*Tulisan ini merupakan pengantar untuk diskusi “Runding Gairah Sastra: Sastra Dalam Musik” yang diadakan oleh FSB Retorika di Fakultas Filsafat, UGM, Jogja, 31 Agustus 2017.


[1] Kata penghargaan sengaja saya beri tanda kutip karena yang saya maksudkan di sini bukan sekadar penghargaan klise misalnya dari pemerintah atau apa, tetapi penghargaan yang saya maksudkan di sini mencakup bagaimana masyarakat melihatnya, bagaimana penghargaan secara finansial kepada bidang itu, dsb.
[2] Kalau tak salah, jurusan bahasa dan sastra muncul jauh sebelum kemerdekaan dan jurusan filsafat/pemikiran muncul setelah kemerdekaan. Di dalam dunia seni sendiri, tak sulitlah untuk kita membayangkan bahwa musiklah yang lebih dahulu hadir ketimbang sastra. Anda bayangkan tentara-tentara dan pedagang Eropa generasi awal ke Nusantara, agaklah sulit kita membayangkan ada penyair atau pemikir atau penulis novel yang ikut di dalam konfoi kapal pimpinan Alfonso de Albuquerque. Paling ya para pelaut nekad, para prajurit bayaran yang sejatinya bajingan di Eropa sana. Di dalam konteks pembicaraan ini, saya memang membatasi pada seni dan pemikiran modern. Sehingga, pemahaman kita bahwa ada seni dan pemikiran aseli nusantara itu perlu dikurung terlebih dahulu.
[3] Tentu tak perlu dijelaskan bahwa sastra dan filsafat itu adalah dua cabang ilmu yang usianya setua peradaban itu sendiri. Ada tentu saja ilmu-ilmu yang kehadirannya di dalam dunia pendidikan kita jauh lebih terlambat daripada dua bidang ilmu ini. Tetapi alasan keterlambatan mereka berbeda dengan keterlambatan dua ilmu di atas; ilmu-ilmu lain belakangan itu terlambat hadir karena memang baru di saat itulah mereka ada di dalam dunia akademis. Ilmu komputer misalnya, usianya jauh lebih muda daripada sastra dan filsafat. Tetapi kemudaannya karena memang secara spesifik ilmu itu baru hadir belakangan ini. Berbeda dengan filsafat dan sastra yang adalah ilmu tua itu; keterlambatan hadirnya diakibatkan oleh ‘kelupaan’ secara sengaja atau pun tidak oleh kepentingan di balik dunia akademis itu sendiri.
[4] Di bagian ini jelaslah penekanan saya pada dunia pemikiran dan dunia kesenian-sastra-puisi yang tak terlepas juga dari laku aktivisme; bukan duna pemikiran dan dunia kesenian-sastra-puisi yang lebih berpikir tentang seni untuk seni atau yang hanya berkonesntrasi pada mengejar kecanggihan presentasi artistik, misalnya.

Please follow and like us:

Post Comment

RSS
Instagram